Bicara
soal rantau merantau, dari kecil saya sudah jauh sama orangtua. Mulai usia
taman kanak-kanak hingga sekarang, untuk itu satu persatu tempat akan saya
uraikan dengan baik sesuai dengan ingatan tajam saya untuk hal itu.
Taman
kanak-kanak hingga SD
Berawal
ketika bangun tidur saya tiba-tiba saja menagis histeris minta di pondokin, sampai-sampai
ibu dan abah saya bingung, sampai akhirnya paman saya membujuk orangtua saya
untuk membawa saya ke salah satu pesantren yang ada di daerah Mayangan Jombang.
Dari sinilah saya belajar banyak hal, bangun tidur pukul 04.00, jika tidak
bangun siap-siap saja ada cipratan air dari pengurus kamar, kebetulan mandi
masih dimandikan karena masih usia 4 tahun. Selain belajar tentang kemandirian
sejak usia dini, saya juga belajar agama yaitu hafalan al-qur’an. Ada satu
tanda sebangai tanda kenang-kenangan dalam hidup saya yang tidak akan bisa
terhapus yaitu hidung saya ada bekas jahitan, karena main timba jaman dahulu
yang masih pakai pompa.
SMP
dan SMA
Setelah
lulus SD abah saya langsung membawa saya ke Ponorogo dan memasukkan saya ke salah
satu pesantren putri di daerah Jetis. Disinilah kenangan manis terurai,
sepertinya tidak ada kenangan pahit yang saya ukir di pesantren ini selama 7
tahun. Aktivitas di pesantren ini dimulai dari pukul 04.00-22.00, dari
peristiwa-peristiwa yang paling saya ingat adalah kalimat yang diucapkan oleh
adik kelas saya “ukhti HM ya,terkenal tuh…”.
Kebetulan saya di pesantren dipanggil HM karena nama saya banyak yang sama
akhirnya alternatifnya adalah sebutan HM. Di pesantren ini komunikasinya
menggunakan dua bahasa yaitu satu minggu bahasa arab-satu minggu bahasa
inggris, jadi ketika kami tidak menggunakan bahasa arab maupun inggris satu
katapun maka ada mata-mata yang menulis nama kita dan akhirnya masuk dalam
catatan siswa pelanggar bahasa. Dan saya menjadi salah satu nama dari sekian nama
teman-teman yang sering melanggar bahasa, jika tidak melanggar bahasa pasti
melanggar kebersihan (hehehe ampun deh).
Jika
sudah melanggar bahasa, maka siap-siap saja dengan hukuman yang sudah berlaku
yaitu shalat dhuha saat istirahat pertama, istirahat kedua keliling lapangan
sekolah sambil menjinjing munjid (kamus
bahasa arab yang tebal), setelah shalat
ashar bersih-bersih entah membersihkan masjid, kantin, kantor guru, kantor
administrasi, atau yang paling menjadi idola itu ruang tamu. Maklum bisa tebar
pesona jika ada tamu ustadz atau
pondok putra, ya meski yang melanggar bahasa harus dengan ekstra percaya diri
menggunakan kotak kardus bertuliskan “ana
mukholifatul lughoh hadzal yaum” (saya melanggar bahasa hari ini) dalam
satu hari mulai dari setelah keluar dari ruang bagian bahasa sampai kegiatan
bersih-bersih selesai.
Masa
Kuliah
Kuliah
saya di UIN Malang, mengambil jurusan Psikologi. Satu tahun tinggal di asrama
yang lumayan untuk mahasiswa baru, satu tahun wajib belajar bahasa arab mulai
siang sampai malam. Yang paling berkesan yaitu pada saat kuliah saya pernah
jualan permen di kelas gara-gara saya
sering bawa permen dan banyak yang minta (hahaha…).
Saat praktikum psikologi saya dan teman-teman sibuk mencari klien entah itu
anak SD, anak-anak SMP, atau terkadang orang dewasa. Selain itu, kami pergi ke
rumah sakit jiwa untuk observasi penderita kelainan jiwa.
Dan
yang sangat berkesan itu pada saat PKL di Ponorogo di salah satu desa yang
sangat terkenal di media massa yaitu kampong idiot. Karena PKL di sekolah,
rumah sakit, kepolisian itu hal biasa maka saya dan 13 orang lainnya bersedia
untuk mengadakan PKL di Ponorogo. Ah, kenangan itu.
Setelah
menikah
Setelah
menjelajah ke Jombang, Ponorogo, dan Malang. Sekarang setelah menikah saya
langsung diboyong oleh suami ke Batam (alamak, jauh nian hahaha). Ya, namanya
juga jodoh. Suami saya bekerja di sebuah pembangkit listrik di Batam, alhasil
saya dengan rasa sedih meninggalkan keluarga besar saya yang berada di Jombang.
Sekarang saya mengajar di salah satu Sekolah swasta di Batam sebagai guru
bimbingan dan konseling.
Awalnya
merasa aneh berada di Batam, mulai dari rasa makanannya, cuacanya yang ekstra
panas, bingung karena sendiri belum punya kenalan, sampai bingung dengan adegan
para tukang sayur yang setiap membeli sayur harus ditimbang terlebih dahulu,
buat saya tidak masalah tapi yang membuat saya tertawa itu saat saya membeli
daun seledri 2 tangkai itupun harus ditimbang terlebih dahulu (hahahaha,ampun deh). Tapi sekarang Alhamdulillah
semuanya sudah aman, saya sudah menemukan tempat-tempat makanan yang sesuai
dengan selera orang Jawa dan sudah bisa menikmati kota Batam yang kecil ini.
Bagi saya menjadi seorang
perantau itu menjadi hal yang sangat mengesankan, indah dan banyak pengalaman
yang saya dapatkan. Entah itu hal yang baik maupun yang tidak baik, tapi saya menikmati sekali menjadi petualang dan
perantau sejati.
Artikel ini diikutkan dalam Giveaway gendu-gendu rasa perantau